
Pertama, orang yang selalu mengutuk orang lain
atas rezekinya yang tak lancar, bahkan bisa
dibilang tersumbat. Rezekinya berantakan,
padahal karena hidupnya sendiri yang tak teratur.
Tak mampu merapikan diri, tetapi orang lain yang
dituduh merusak hidupnya. Selalu mengeluh,
cemas (gelisah), sedih, akhirnya stres, dan
depresi.
Kedua, orang yang senantiasa giat menjaga
hubungan antar manusia. Tujuannya jelas agar
dapat menciptakan mesin uang bagi dirinya
sendiri. Berusaha berpikir positif kepada orang
lain, sekaligus rajin memperbaiki diri agar nasib
hidupnya membaik. Hitung-hitungan uangnya rinci
dan detail. Setiap aktivitas harus menghasilkan
uang baginya. Terlihat optimis, punya visi dan
misi yang jelas, serta hidupnya terjadwal dan
penuh target.
Ketiga, orang yang sudah tidak lagi fokus untuk
bertanya, “Berapa besar uang yang saya
dapatkan?” Tetapi lebih suka bertanya, “Apa yang
bisa saya bantu?” Hari-harinya disibukkan
dengan aktivitas yang meringankan beban hidup
orang lain. Peka dengan penderitaan orang lain.
Lebih suka orang lain diuntungkan, meskipun ia
harus sedikit mengalami ‘kerugian’ secara
finansial. Dengan begitu, ia merasa puas, sebab
kebahagiaan orang lain lebih diutamakan.
Tapi ternyata, orang yang ketiga ini, rezekinya
justru datang dengan sendirinya. Rezekinya
semakin datang melimpah, dari arah yang tak
terduga. Bahkan datang dalam jumlah besar
dalam waktu bersamaan. Hebatnya, orang itu
justru merasa rezeki itu bukan hanya miliknya. Ia
langsung bagi-bagikan kepada orang lain. Hanya
mengambil secukupnya saja, seperlu kebutuhan
hidupnya saja. Ia selalu tampak bahagia,
senyumnya mengembang, tatapannya
meneduhkan, bicaranya enak didengar, hatinya
peka (menolong sebelum diminta), dan saat
meninggal dunia banyak orang-orang (melayat)
kehilangan dirinya.
Sepanjang hidupnya, ia yakin,
“Jika membahagiaan orang lain, maka Allah akan
membahagiakannya. Jika menolong orang lain,
maka Allah yang akan menolongnya. Cukup
baginya Allah.”
Oleh : Dwi Suwiknyo
( http://pesantrenpenulis.com/ )