Cukuplah orangtua dikatakan menyengsarakan hidup anak apabila ia membiasakan hidup mudah. Segala sesuatu yang mereka perlukan telah tersedia dengan mudah, nyaris tanpa usaha berarti. Padahal pengalaman berusaha dan menyelesaikan masalah akan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang. Sehingga semakin banyak masalah yang mampu ia selesaikan, semakin tinggi nilai hidupnya.
Allah Ta’ala membentangkan di hadapan manusia kesempatan untuk berjuang. Agar terwujud kehidupan yang baik, kita harus memiliki kesediaan untuk memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh dengan keringat dan do’a. Kesungguhan dalam berjuang itulah letak nilai seseorang. Bukan apa yang ia capai. Sungguh, adakalanya barakah perjuangan seseorang tampak nyata di muka bumi setelah kehidupan orang tersebut berlalu beberapa masa. Dan merupakan tugas orangtua untuk memberi kesempatan kepada anak latihan berjuang, dari yang kecil hingga mimpi-mimpi besar untuk sebuah visi di masa depan.
Sesungguhnya orangtua yang kejam adalah mereka yang tidak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan di usia itu. Kejamlah para ibu yang masih selalu menyuapi anaknya, setiap saat, padahal anak seharusnya sudah bisa makan sendiri. Kejamlah seorang bapak yang selalu melayani keinginan anak dan memenuhi permintaan mereka, padahal anak-anak itu kelak harus memiliki kecakapan mentasharrufkan hartanya. Kejamlah orangtua yang hanya memberi uang dan fasilitas berlimpah kepada anaknya tanpa memberi tanggung-jawab, kewajiban dan tantangan kepada mereka.
Mari kita belajar dari pohon apel. Sesungguhnya apel tidak berbuah kecuali setelah daunnya rontok. Jika ia ditanam di negeri yang tidak mengenal musim gugur, maka kitalah yang harus membantu agar apel tersebut berbuah. Kita membantu mengurangi daun-daunnya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Perlu tantangan sebelum berbuah. Ada tantangan yang secara alamiah dihadapi karena kondisi yang tidak terelakkan. Tetapi jika kondisi yang diperlukan tidak tersedia, maka kitalah yang harus merancang agar ada tantangan yang ”menggairahkan”.
Jika kita menilik sejarah, orang-orang besar adalah mereka yang memiliki catatan panjang tentang keteguhan, ketegaran, kegigihan, kejujuran, integritas yang tinggi, keberanian dan tekad yang kuat untuk menyelesaikan setiap masalah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan rambu-rambu yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ditempa oleh tantangan yang datang berjenjang-jenjang. Awalnya ringan, lalu datang lagi tantangan berikutnya yang lebih berat. Bahkan tidak sedikit orang besar yang sejak lahir sudah dipenuhi kesulitan dan tantangan. Ia lahir dalam kesulitan, besar dalam kesulitan dan kemudian tumbuh menjadi manusia yang sanggup mengatasi berbagai kesulitan yang orang lain takut membayangkannya. Mereka banyak menghadapi kesulitan, tetapi pada saat yang sama ada kekuatan jiwa untuk menghadapinya. Terkadang kekuatan itu mengalir dari hadirnya seorang ibu yang senantiasa memberi dukungan ketika ia merasa tak sanggup lagi.
Di antara orang-orang sukses, banyak yang mengawali hidupnya dengan berbagai kesulitan. Sebagian mereka bahkan pernah merasa tak sanggup menghadapinya, lalu berikrar agar anaknya tak pernah menjumpai kepahitan hidup yang serupa. Tetapi ia lupa membedakan bahwa kepahitan hidup berbeda dengan tantangan. Alih-alih tidak ingin anaknya sengsara, justru menghindarkan anak dari tantangan. Diam-diam menjadikan anaknya tak berdaya dengan melimpahi mereka fasilitas dan kemudahan. Padahal berlimpahnya fasilitas tanpa tantangan, menjadikan anak lemah secara mental, rendah daya juangnya, mudah frustrasi karena tak terbiasa menghadapi kesulitan, dan tidak memiliki keterampilan memadai dalam menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Mereka inilah yang rawan terkena afflueanza.
Apakah affluenza itu? O, banyak sekali definisi yang bisa kita temukan pada kata ini. Tetapi ada beberapa hal yang mempersamakan dari berbagai definisi itu, yakni bahwa affluenza merupakan kondisi ketika orang menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari berapa banyak uang yang dimiliki, berapa mewah barang yang dikonsumsi, dan berapa lengkap perangkat yang dipunyai beserta segala kemudahan yang bisa dibeli. Mereka dimanjakan oleh uang karena orangtua sudah merdeka secara finansial, tetapi hati mereka hampa dan kebahagiaan sangat jauh dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli kebahagiaan dengan uang, semakin kering hidup mereka, semakin jauh pula kebahagiaan itu menghindar dari mereka. Di saat itulah mereka semakin sibuk mengejar…. dengan uang yang mereka punya!!! Padahal ini justru membuatnya semakin tidak bahagia. Tetapi tak pilihan lain buat mereka, sebab yang mereka ketahui, uang bisa membeli apa pun. Sejak kecil mereka dibesarkan dengan kemudahan dan fasilitas, sehingga mereka justru menemukan banyak kesulitan dalam hidup. Apa yang sederhana buat orang lain, bisa menjadi kesulitan besar bagi dirinya.
Nah.
Jadi apa yang membuat anak-anak itu lemah di masa dewasanya? Mereka tak berdaya karena otot mereka, otak mereka dan mental mereka tak pernah ditempa. Mereka lemah karena terlalu banyak dimanja oleh fasilitas berlimpah. Mereka menemui banyak kesulitan karena terbiasa hidup serba mudah. Sesungguhnya apa yang berat bisa terasa ringan apabila kita memperoleh tempaan yang cukup untuk menghadapi tantangan. Semakin banyak tantangan yang mampu kita hadapi, akan semakin kuatlah kita dengan izin Allah Ta’ala.
Perlunya memberi kesempatan pada anak untuk menghadapi tantangan bukan berarti orangtua harus membiasakan anak hidup sulit. Sangat berbeda mempersulit keadaan dengan menempa anak menghadapi kesulitan. Kita memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan memberinya tanggung-jawab, memberi mereka tugas untuk menyiapkan, mengatur dan menjaga apa yang mereka perlukan dalam hidup sehari-hari, serta memberi mereka kesempatan bagi mereka untuk belajar mengurusi diri mereka sendiri. Jadi bukan merampas hak mereka untuk belajar mandiri.
Bayi usia 1,5 tahun misalnya, secara alamiah mereka akan terdorong untuk belajar makan sendiri. Tentu saja karena belum memiliki cukup keterampilan, hasilnya bisa belepotan dan mengotori lantai. Tetapi jika atas nama kasih-sayang kita tidak memberinya kesempatan sehingga kita selalu menyuapinya, anak itu akan terhambat kemampuannya dan sulit tumbuh kemandiriannya.
Di usia-usia berikutnya ketika anak sudah saatnya untuk otonom, kita perlu membimbing mereka untuk menyiapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai besok dan menyiapkan perlengkapannya. Secara perlahan kita memperkenalkan kepada mereka konsekuensi jika mengabaikan kewajiban. Pada saat yang sama kita mulai perlu memberi mereka tantangan-tantangan. Bukan membebani.
Kita bisa menggugah mereka untuk memiliki tekad kuat bagi sebuah mimpi di masa yang akan datang. Misalnya, kita gugah anak-anak itu untuk berkeinginan kuat memberikan harta yang bermanfaat bagi yang memerlukan. Katakanlah sepatu untuk orang miskin, atau sebuah ensiklopedi yang perlu mereka beli atau keperluan mereka sendiri yang berharga. Kita beri mereka dorongan. Pada saat yang sama kita pacu mereka untuk bisa mewujudkan tekad itu dengan kemampuannya sendiri.
Melalui tantangan yang datang secara bertahap itu, anak-anak akan belajar memecahkan kesulitan. Sesungguhnya Allah Ta’ala letakkan kemudahan itu menyertai kesulitan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah, 94: 5-6).
Muhammad Sulaiman ’Abdullah al-Asyqar menerangkan dalam tafsirnya yang bertajuk Zubdatut Tafsiir Min Fathil Qadiir bahwa maksud ayat ini ialah, sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan lain. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu dengan status marfu’ menerangkan, ”Seandainya kesulitan itu berada di dalam batu, niscaya ia akan diikuti oleh kemudahan sehingga ia masuk ke dalamnya kemudian mengeluarkannya dari batu tersebut. Suatu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya Allah berfirman: ”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Banyak hal. Selain keharusan untuk senantiasa optimis tatkala menghadapi kesulitan, kita juga perlu merenungkan kembali apa yang telah kita berikan kepada anak-anak kita. Apakah kita menyiapkan anak kita untuk menjadi pribadi yang kuat ataukah kita justru sedang mempersulit hidupnya dengan membiasakan hidup mudah?
Sungguh, membiasakan anak hidup mudah dapat melemahkan mereka dalam keterampilan hidup, berpikir, dan bersikap. Bahkan bukan tidak mungkin dapat menyebabkan mereka lemah iman. Na’udzubillahi min dzaalik.